Info terupdate
SISI LAIN REALITA
Indeks

Legenda Asal Usul Burung Cendrawasih

Di daerah Fak-fak, tepatnya di daerah pegunungan Bumberi, hiduplah
seorang perempuan tua bersama seekor anjing betina. Perempuan tua bersama
anjing betina itu mendapatkan makanan dari hutan berupa buah-buahan dan kuskus.
Hutan adalah ibu mereka yang menyediakan makanan untuk hidup. Mereka berdua
hidup bebas dan bahagia di alam.

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Suatu ketika, seperti biasanya mereka berdua ke hutan untuk
mencari makan. Perjalanan yang cukup memakan waktu lama telah mereka tempuh,
namun mereka belum juga mendapatkan makanan. Anjing itu merasa lelah karena
kehabisan tenaga. Pada keadaan yang demikian tibalah mereka berdua pada suatu
tempat yang ditumbuhi pohon pandan yang penuh dengan buah.

Perempuan tua itu serta merta memungut buah itu dan
menyuguhkannya kepada anjing betina yang sedang kelaparan. Dengan senang hati,
anjing betina itu melahap suguhan segar itu. Anjing betina itu merasa segar dan
kenyang.

Namun, anjing itu mulai merasakan hal-hal aneh diperutnya.
Perut anjing itu mulai membesar. Perempuan tua itu mulai memeriksanya dan
merasa yakin bahwa sahabatnya (anjing betina) itu bunting. Tidak lama kemudian
lahirlah seekor anak anjing. Melihat keanehan itu, si Perempuan tua segera memungut
buah pandan untuk dimakannya, lalu ia pun mengalami hal yang sama dengan yang
dialami oleh sahabatnya.

Perempuan tua itu melahirkan seorang anak laki-laki.
Keduanya lalu memelihara anak mereka masing-masing dengan penuh kasih sayang.
Anak laki-laki tersebut diberinya nama Kweiya.

Setelah Kweiya menjadi besar dan dewasa, ia mulai membuka
hutan dan membuat kebun untuk menanam aneka bahan makanan dan sayuran. Alat
yang dipakai untuk menebang pohon hanyalah sebuah pahat (bentuk kapak batu),
karenanya Kweiya hanya dapat menebang satu pohon setiap harinya. Ibunya ikut
membantu dengan membakar daun-daun dari pohon yang telah rebah untuk
membersihkan tempat itu sehingga asap tebal mengepul ke langit. Keduanya tidak
menyadari bahwa mereka telah menarik perhatian orang dengan adanya kepulan asap
itu.

Konon ada seorang Pria Tua yang sedang mengail di tengah
laut terpaku melihat suatu tiang asap yang mengepul tinggi ke langit
seolah-olah menghubungi hutan belantara dengan langit. Ia tertegun memikirkan
bagaimana dan siapakah gerangan pembuat asap misterius itu. Rasa penasaran
mendorongnya untuk pergi mencari tempat di mana asap itu terjadi. Lalu ia pun
segera menyiapkan diri dengan bekal secukupnya dan dengan bersenjatakan sebuah
kapak besi, ia pun segera berangkat bersama seekor kuskus yang dipeliharanya
sejak lama. Perjalanannya ternyata cukup memakan waktu. Setelah seminggu
berjalan kaki akhirnya ia mencapai tempat di mana asap itu terjadi.

Setibanya di tempat itu, ternyata yang ditemui adalah
seorang pria tampan yang sedang membanting tulang menebang pohon di bawah terik
panas matahari dengan menggunakan sebuah kapak batu berbentuk pahat. Melihat
itu, ia menghampiri lalu memberi salam : “weing weinggiha pohi” (artinya,
“selamat siang”), sambil memberikan kapak besi kepada Kweiya untuk menebang
pohon-pohon di hutan rimba itu. Sejak itu pohon-pohon pun berjatuhan
bertubi-tubi. Ibu Kweiya yang beristirahat di pondoknya menjadi heran. Ia
menanyakan hal itu kepada Kweiya, dengan alat apa ia menebang pohon itu sehingga
dapat rebah dengan begitu cepat.

Kweiya nampaknya ingin merahasiakan tamu baru yang datang
itu. Kemudian ia menjawab bahwa kebetulan pada hari itu satu tangannya terlalu
ringan untuk dapat menebang begitu banyak pohon dalam waktu yang sangat
singkat. Ibunya yang belum sempat lihat pria itu percaya bahwa apa yang
diceritakan oleh anaknya Kweiya memang benar.

Karena Kweiya minta disiapkan makanan, ibunya segera
menyiapkan makanan sebanyak mungkin. Setelah makanan siap dipanggilnya Kweiya
untuk pulang makan. Kweiya bermaksud mengajak pria tadi untuk ikut makan ke
rumah mereka dengan maksud memperkenalkannya kepada ibunya sehingga dapat
diterima sebagai teman hidupnya.

Dalam perjalanan menuju rumah, Kweiya memotong sejumlah tebu
yang lengkap dengan daunnya untuk membungkus pria tua itu. Lalu setibanya di
dekat rumah, Kweiya meletakkan “bungkusan tebu” itu di luar rumah. Di dalam
rumah, Kweiya pura-pura merasa haus dan memohon kepada ibunya untuk
mengambilkan sebatang tebu untuk dimakannya sebagai penawar dahaga. Ibunya
memenuhi permintaan anaknya lalu keluar hendak mengambil sebatang tebu. Tetapi
ketika ibunya membuka bungkusan tebu tadi, terkejutlah ia karena melihat
seorang pria yang berada di dalam bungkusan itu. Sera merta ibunya menjerit
ketakutan, tetapi Kweiya berusaha menenangkannya sambil menjelaskan bahwa
dialah yang mengakali ibunya dengan cara itu. Ia berharap agar ibunya mau
menerima pria tersebut sebagai teman hidupnya, karena pria itu telah berbuat
baik terhadap mereka. Ia telah memberikan sebuah kapak yang sangat berguna
dalam hidup mereka nanti. Sang ibu serta merta menerima usul anak tersebut, dan
sejak itu mereka bertiga tinggal bersama-sama.

Setelah beberapa waktu, lahirlah beberapa anak di
tengah-tengah keluarga kecil tadi, dan kedua orang tua itu menganggap Kweiya
sebagai anak sulung mereka. Sedang anak-anak yang lahir kemudian dianggap
sebagai adik-adik kandung dari Kweiya. Namun dalam perkembangan selanjutnya,
hubungan persaudaraan di antara mereka semakin memburuk karena adik-adik tiri
Kweiya merasa iri terhadap Kweiya.

Pada suatu hari, sewaktu orang tua mereka sedang mencari
ikan, kedua adiknya bersepakat untuk mengeroyok Kweiya serta mengiris tubuhnya
hingga luka-luka. Karena merasa kesal atas tindakan kedua adiknya itu, Kweiya
menyembunyikan diri disalah satu sudut rumah sambil memintal tali dari kulit
pohon “Pogak Ngggein” (genemo) sebanyak mungkin. Sewaktu kedua orang tua mereka
pulang, mereka bertanya dimana Kweiya berada, tetapi kedua adik tirinya tidak
berani menceritakan di mana Kweiya. Lalu adik bungsu mereka, yaitu seorang anak
perempuan yang sempat menyaksikan peristiwa perkelahian itu menceritakannya
kepada kedua orang tua mereka. Mendengar certa itu. Si ibu tua merasa iba
terhadap anak kandungnya. Ia berusaha memanggil-manggil Kweiya agar datang.
Tetapi yang datang bukannya Kweiya melainkan suara yang berbunyi :
“Eek..ek,ek,ek,ek!” sambil menyahut, Kweiya menyisipkan benang pintalannya pada
kakinya lalu meloncat-loncat di atas bubungan rumah dan seterusnya berpindah ke
atas salah satu dahan pohon di dekat rumah mereka.

Ibunya yang melihat keadaan itu lalu menangis tersedu- sedu
sambil bertanya-tanya apakah ada bagian untuknya. Kweiya yang telah berubah
diri menjadi burung ajaib itu menyahut bahwa, bagian untuk ibunya ada dan
disisipkan pada koba-koba (payung tikar) yang terletak di sudut rumah. Ibu tua
itu lalu segera mencari koba-koba kemudian benang pintalannya itu disisipkan
pada ketiaknya lalu menyusul anaknya Kweiya ke atas dahan sebuah pohon yang
tinggi di hutan rumah mereka. Keduanya bertengkar di atas pohon sambil berkicau
dengan suara : wong,wong,wong,wong,ko,ko,ko,wo-wik!!

Sejak saat itulah burung cendrawasih muncul di permukaan
bumi. Terdapat perbedaan antara burung cendrawasih jantan dan betina, burung
cendrawasih yang buluhnya panjang disebut “siangga” sedangkan burung
cendrawasih betina disebut “hanggam tombor” yang berarti perempuan atau betina.
Keduanya berasal dari bahasa Iha di daerah Onin, Fak-fak.

Adik-adik Kweiya yang menyaksikan peristiwa ajaib  itu
merasa menyesal lalu saling menuduh siapa yang salah sehingga ditinggalkan oleh
ibu dan kakak mereka. Akhirnya mereka saling melempari satu sama lain dengan
abu tungku perapian sehingga wajah mereka ada yang menjadi kelabu hitam, ada
yang abu-abu dan ada juga yang merah-merah, lalu mereka pun berubah menjadi
burung-burung. Mereka terbang meninggalkan rumah mereka menuju ke hutan rimba
dengan warnanya masing-masing. Sejak itu hutan dipenuhi oleh aneka burung yang
umumnya kurang menarik dibandingkan dengan cendrawasih.

Ayah mereka memanggil Kweiya dan istrinya dan menyuruh
mengganti warna bulu, namun mereka tidak mau. Ayah mereka khawatir bulu yang
indah itu justru mendatangkan malapetaka bagi mereka. Ia berpikir suatu ketika
orang akan memburu mereka, termasuk ketiga anaknya yang lain. Ayah merasa
kecewa karena mereka tidak mengindahkan permintaan mereka untuk berubah bulu.
Kini ayahnya kesepian dan sedih, ia melipat kedua kaki lalu menceburkan dirinya
ke dalam laut dan  menjadi penguasa laut “Katdundur”.

Ituah tadi cerita Asal Usul Burung Cendrawasih dari
papua, pesan moral yang dapat di ambil dari kisah tersebut yaitu sifat iri hati
terhadap saudara sendiri seperti ke dua adik laki laki kweiya bukanlah sifat
terpuji, dan dapat merugikan diri sendiri.


Eksplorasi konten lain dari PRAKATA.ID

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.