Info terupdate
SISI LAIN REALITA
Indeks

Cerita Tampe Ruma Sani

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Kisah Tampe Ruma Sani ini berasal dari Dompu, salah satu
kabupaten di Nusa Tenggara Barat.

Alkisah pada zaman dulu, tinggallah seorang anak perempuan
bernama Tampe Ruma Sani. Semua orang di kampungnya mengenal dia, sebab setiap
hari ia menjajakan ikan hasil tangkapan ayahnya. Ibunya sudah meninggal. Di
rumahnya ia tinggal bersama ayah dan adik laki-lakinya yang masih kecil. Ia
memasak nasi untuk ayah dan adiknya. Kasihan Tampe Ruma Sani yang masih kecil
itu harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang seharusnya dikerjakan oleh
orang dewasa.

Pada suatu hari, seorang janda menyapa Tampe Rurna Sani,
“Sudah habis ikanmu Nak? Tiap hari saya lihat ikanmu cepat habis, apa
rahasianya?”

“Saya menjual lebih murah dari yang lain, agar cepat habis,
karena saya harus segera pulang menanak nasi untuk ayah dan adik saya. Juga
pekerjaan rumah tangga yang lain harus saya kerjakan”, jawab Tampe Rurna Sani
sambil berjalan cepat.

“Siapa nama adikmu?”

Baca Juga:

Kisah Jaka Tarub Dan Tujuh Bidadari

Legenda I Laurang Sang Manusia Udang – Sulawesi Selatan

Cerita Malin Kundang, Si Anak Durhaka

Kisah Timun Mas dan Raksasa

“Mahama Laga Ligo”, jawab Tampe Rurna Sani. “Mengapa bukan
adikmu yang memasak?”

“Adikku masih kecil, belum bisa memasak.” Bermacam-macam
pertanyaan janda itu kepada Tampe Ruma Sani.

“Sampaikan salamku kepada ayahmu! Aku mau membantu kalian
dan tinggal di rumah ayahmu. Aku mau membuat tembe (sarung), sambolo (destar)
dan ro sarowa (celana) untuk ayahmu”, kata janda itu dengan manis.

“Baik Bu, akan saya sampaikan kepada ayah.” Singkat cerita
janda itu kini telah kawin dengan ayah mereka, dan menjadi ibu tirinya.

Kini Tampe Ruma Sani lidak lagi memasak. Pekerjaannya hanya
menjajakan ikan saja. Sekali-sekali ikut menumbuk padi. Setiap menumbuk padi,
ibunya selalu berpesan agar beras yang utuh dipisahkan dengan yang hancur.

Pada mulanya, ibu tirinya sangat baik kepada Tampe Ruma Sani
dan adiknya. Namun, lama-kelamaan sikapnya berubah. Tampe Rurna Sani dan Mahama
Laga Ligo mendapat perlakuan yang kurang baik, lebih-lebih kalau ayahnya tidak
berada di rumah.

Pada suatu hari, ayahnya baru pulang menangkap ikan. Sang
ibu tiri segera menyiapkan makanan yang enak-enak untuknya. Sedang untuk anak
ttrinya disediakan nasi menir (nasi dari beras yang hancur kecil-kecil).
Melihat hal itu, Tampe Ruma Sani memberanikan diri lapor kepada ayahnya, “Ayah
dan ibu makan nasi yang bagus dan ikannya yang enak-enak, sedang saya dan adik
nasinya kecil-kecil dan tidak ada ikannya”. Mendengar hal itu ayahnya bertanya,
“Mengapa makanan anak-anak berbeda dengan makanan kita Bu?”

“Oo tidak Pak, sebenarnya sama saja, lihatlah sisa makanan
yang ada di kepala Mahama Laga Ligo,” jawab istrinya.

Sebenarnya nasi yang ada di kepala Mahama Laga Ligo sengaja
ditaruh oleh ibu tirinya menjelang ayahnya datang. Hal yang demikian telah
dilakukan berkali-kali. Ibunya sangat marah kepada Tampe Ruma Sani yang berani
melaporkan kepada ayahnya. Setelah suaminya pergi, sang ibu tiri menghajar
Tarnpe Ruma Sani sampai babak belur. Tampe Ruma Sani menangis sejadi-jadinya.
Melihat kakaknya dihajar, Mahama Laga Ligo pun ikut menangis.

“Kalau kalian berani melapor kepada ayahmu akan kubunuh
kalian!” ancamnya.

Perlakuan kasar telah biasa diterima oleh kedua anak itu.
Mereka tidak berani melaporkan kejadian itu kepada ayahnya, karena takut
ancaman ibu tirinya.

Kini kedua anak itu sudah besar dan menginjak dewasa. Kakak
beradik itu bermaksud pergi meninggalkan orang tuanya untuk mencari nafkah
sendiri, karena tidak tahan lagi menerima siksaan ibu tirinya. Maksud itu pun
disampaikan kepada ayahnya, “Ayah, kami sekarang sudah besar, ingin pergi
mencari pengalaman. Oleh karena itu, izinkanlah saya dan Mahama Laga Ligo
pergi”.

“Mengapa engkau mau meninggalkan rumah ini? Tetaplah di
sini. Rumah ini nanti akan sepi.” kafa ayahnya. Ibu tirinya segera menyahut,
“Benar kata Tampe Ruma Sani. Dia kini sudah besar. Bersama adiknya tentu ingin
mandiri. Maka sebaiknya ayah mengizinkan mereka pergi.” Ibu tirinya memang
sudah tidak senang dengan anak-anak tirinya yang dirasa sangat mengganggu.

Akhirnya, ayahnya pun dengan berat mengizinkan, berkat
desakan istrinya yang terus-menerus.

Pagi hari sesudah sholat subuh, kedua anak itu meninggalkan
rumahnya. Ibu tirinya memberi bekal nasi dalam bungkusan. Ayahnya mengantarkan
sampai ke batas desa.

Alkisah, kedua anak itu berjalan menyusuri hutan dan sungai.
Sesekali mereka membicarakan ibu tirinya yang kejam. Sesekali juga membicarakan
ayahnya yang kena pengaruh ibu tirinya. Setelah seharian berjalan, Mahama Laga
Ligo merasa capai.

“Kak, saya capai dan lapar. Istirahat dulu ya Kak”, katanya
dengan nada menghimbau.

“Bolehlah. Kita cari dulu tempat yang teduh, lalu kita makan
bekal yang diberikan ibu tadi,” kata kakaknya. Ketika mau duduk dekat adiknya
yang mulai membuka bekalnya, tercium bau kotoran.

“Pindah dulu, di sekitar sini ada kotoran, kata Tampe Ruma
Sani, sambil mengamati di mana kotoran itu berada. Namun, di sekitar tempat itu
bersih. Lalu ia duduk lagi dan meneruskan membuka bekal yang dipegang adiknya.
Ketika bekal itu dibuka bau itu tercium lebih keras. Akhinya, tahulah sumber
bau itu. Bau itu temyata berasal dari bekal yang dibawanya. Rupanya ibu tirinya
sangat jahat, sehingga sampai hati memberi bekal yang dicampuri kotoran
manusia. Lalu, bungkusan itu pun dibuang, dengan perasaan marah dan sedih.

Dengan mengikat perutnya kencang-kencang, kedua kakak
beradik itu pun melanjutkan perjalanan. Setelah beberapa lama herjalan,
dilihatnya sebuah rumah di tengah hutan. Kedua anak itu merasa senang.
Segeralah keduanya menaiki tangga dan mengetuk pintu. Namun, setelah beberapa
saat tidak terdengar jawaban. Diketuknya sekali lagi, tetap tiada jawaban.
Lalu, keduanya mendorong pintu rumah itu sedikit demi sedikit. Ternyata pintu
itu tidak dikunci. Dengan perlahan-lahan, ia memeriksa seluruh penjuru rumah,
temyata rumah itu tidak ada penghuninya. Di sebuah sudut rumah itu ada tiga
buah karung. Setelah diperiksa, ternyata karung itu berisi merica, cengkih, dan
pala. Di atas meja tersedia makanan. Di sekitar rumah ditumbuhi rumput yang
tinggi, yang tampak tidak pernah dijamah manusia maupun binatang.

“Mari kita duduk di dalam rumah menunggu pemiliknya” kata
Tampe Ruma Sani kepada adiknya.

Mereka duduk-duduk. Tak berapa lama, karena kecapaian,
mereka tertidur. Pada saat terbangun hari telah pagi. Penghuni rumah itu belum
juga muncul. Makanan di atas meja masih tetap utuh. Mereka heran, makanan itu
masih hangat. Karena kelaparan, makanan itu pun mereka makan sampai habis.

Tiga hari sudah mereka berada di rumah itu. Setiap mereka
bangun pagi, makanan hangat telah tersedia. Mereka semakin terheran-heran,
namun tidak mampu berpikir dari mana semuanya itu.

Untuk menjaga kemungkinan makanan tidak tersedia lagi,
mereka bermaksud menjual rempah-rempah dalam karung itu. Pada hari keempat,
Maharna Laga Ligo berkata kepada kakak perempuannya, “Kak, biarlah saya yang
menjual rempah-rempah ini sedikit demi sedikit ke pasar. Sementara saya pergi,
kakak di dalam rumah saja. Kalau ada orang datang, jangan sekali-sekali kakak
membukakan pintu”.

“Baiklah, pergilah, tetapi jangan lama-lama”, jawab
kakaknya.

Tersebutlah hulubalang raja yang sedang berburu di hutan.
Setelah beberapa lama, mereka sangat heran di tengah hutan itu ada sebuah
rumah. Selama ini, di daerah itu tidak pernah ada seorang pun berani tinggal.
Maka salah seorang hulubalang itu menaiki tangga rumah itu dan mengetuk
pintunya. Tampe Ruma Sani tidak berani menjawab, apalagi membuka pintu. Ia
bersembunyi di bawah meja dengan sangat ketakutan. Dalam hati berdoa semoga
adiknya cepat datang.

Karena ketukan pintunya tidak terjawab, maka hulubalang raja
itu turun, dan memeriksa kolong rumah itu. Ia melihat rambut yang terjurai di
bawah kolong. Lalu, ia pun menarik rambut itu. Rambut itu adalah rambut Tampe
Ruma Sani. Ketika ditarik, ia merasa kesakitan dan berteriak. Hulubalang itu
terkejut. Ia lidak mengira, rambut itu rambut manusia. Ia segera kembali
meminta agar pintu dibuka. Namun, Tampe Ruma Sani tetap tidak mau membuka.

Hulubalang itu segera kembali ke kerajaan melaporkan
peristiwa itu kepada raja.

Mendapat laporan yang demikian, raja bersama beberapa
hulubalang yang lain segera menuju hutan di mana rumah itu berada.

Raja meminta agar pintu dibuka. Namun, Tampe Ruma Sani tetap
tidak berani membukanya. Akhirnya, pintu itu pun didobrak beramai-ramai. Tampe
Ruma Sani berteriak ketakutan.

“Jangan takut! Aku raja di negeri ini”.

Pada saat itu, Mahama Laga Ligo datang. “Saya datang, Kak.
Bukalah pintu!”

Tampe Ruma Sani membukakan pintu dan memperkenalkan sang
raja dan para hulubalang. Dan mereka pun dibawa ke istana dan Tampe Rurna Sani
dijadikan permaisurinya.

 


Eksplorasi konten lain dari PRAKATA.ID

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.