Info terupdate
SISI LAIN REALITA
Indeks

Kisah Ular N’Daung

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Ular N’Daung adalah seekor ular raksasa yang tinggal di
sebuah puncak gunung di daerah Bengkulu. Ular N’Daung itu terkenal buas dan
ganas yang akan memangsa siapa saja yang mendekati puncak gunung tersebut.
Suatu ketika, seorang gadis cantik memberanikan diri mendekati puncak gunung
karena ingin mencari bara gaib untuk mengobati ibunya yang sedang sakit keras.
Bagaimana nasib gadis cantik itu selanjutnya? Simak ceritanya dalam Kisah Ular
N’Daung berikut ini!

Dahulu, di kaki sebuah gunung di daerah Bengkulu, hiduplah
seorang janda tua dengan tiga anak gadisnya. Dari ketiga anak gadis tersebut,
si Bungsulah yang paling rajin membantu ibu mereka bekerja di ladang untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Ia juga yang harus memasak sepulang dari
ladang. Sementara itu, kedua kakaknya hanya bermalas-malasan di rumah. Mereka
tidak pernah membantu ibu mereka bekerja di ladang.

Suatu hari, sang Ibu sakit keras, tidak mau makan dan minum.
Melihat kondisi ibunya yang parah itu, cepat-cepatlah si Bungsu memanggil tabib
desa. Sang Tabib pun segera memeriksa keadaan perempuan tua itu

“Maaf, anak-anakku! Sakit yang diderita ibu kalian sudah
sangat parah,” ungkap tabib itu.

“Apakah Ibu kami masih dapat disembuhkan, Tuan Tabib?” tanya
si Bungsu dengan cemas.

“Iya, Bungsu. Ibu kalian masih bisa sembuh bila diberi obat
khusus,” jawab tabib itu.

“Obat khusus apakah itu, Tuan Tabib?” tanya lagi si Bungsu,“
Barangkali kami dapat mendapatkannya.”

“Ibu kalian hanya bisa disembuhkan dengan ramuan beberapa
daun hutan yang dimasak dengan bara gaib,” jelas tabib itu, “Tapi maaf, saya
tidak dapat membantu kalian untuk mendapatkan bara gaib itu.”

“Kenapa, Tuan Tabib?” tanya si Sulung.

“Ketahuilah, bara gaib itu hanya terdapat di gua yang berada
di puncak gunung. Namun, gua itu dijaga oleh seekor ular raksasa yang
menyeramkan bernama Ular N’Daung. Ular itu amat ganas dan buas. Ia akan
memangsa setiap orang yang mendekati gua itu,” jelas sang Tabib.

Mendengar keterangan tabib itu, kedua kakak si Bungsu
menjadi ketakutan.

“Iih…, sungguh mengerikan! Aku tidak mau naik ke puncak
gunung itu,” kata si Sulung.

“Aku pun tidak berani ke sana. Aku tidak mau mati muda!”
sahut kakak si Bungsu yang kedua.

Berbeda dengan kedua kakaknya, si Bungsu justru bertekad
ingin ke puncak gunung itu, walaupun ada rasa takut dalam dirinya. Ia akan
melakukan itu demi mendapatkan bara api gaib agar ibunya dapat segera sembuh.

“Baiklah, Kakak-kakakku. Jika kalian tidak mau ikut, biarlah
saya sendiri yang pergi,” kata si Bungsu.

Setelah memohon restu kepada sang Ibunda tercinta yang
sedang terbaring lemas, si Bungsu pun berangkat dengan menyusuri jalan setapak.
Jalan menuju ke puncak gunung itu cukup terjal dan berbatu. Meskipun demikian,
si Bungsu tetap semangat dan tak kenal lelah.

Setiba di puncak gunung, terlihat oleh si Bungsu sebuah gua
yang hampir tertutupi oleh rimbunan dedaunan. Hati hadis itu mulai diselimuti
rasa takut karena suasana di sekitarnya sepi mencekam. Namun, karena teringat
kepada ibunya yang terbaring lemah, ia pun memberanikan diri untuk mendekati
mulut gua itu. Baru beberapa langkah ia berjalan, tiba-tiba terdengar suara
gemuruh dari dalam gua itu.

“Hai, suara apa itu? Apakah suara Ular N’Daung?” gumam si
Bungsu seraya mundur selangkah.

Benar perkiraan si Bungsu. Selang beberapa saat kemudian,
Ular N’Daung itu tiba-tiba muncul di mulut gua.

”Hai, gadis cantik! Siapa kamu dan mau apa kamu kemari?”
tanya Ular N’Daung.

Alangkah terkejutnya si Bungsu karena ular raksasa itu
ternyata dapat berbicara layaknya manusia.

“Ma… maaf, Tuan Ular N’Daung kalau kedatangan saya
mengganggu ketenangan Tuan!.” jawab si Bungsu dengan gugup, “Saya si Bungsu
hendak mencari bara gaib untuk mengobati ibu saya yang sedang sakit keras.”

Ular N’Daung menggeliatkan ekornya lalu berkata kepada si
Bungsu.

“Aku akan memberikanmu bara gaib itu, tapi dengan syarat
kamu harus menikah denganku,” ujar Ular N’Daung.

Mendengar pernyataan Ular N’Daung itu, si Bungsu menjadi
bingung. Dalam hatinya berkata bahwa dirinya tidak mungkin menikah dengan
seekor ular. Namun, demi kesembuhan sang Ibunda tercinta, maka ia akhirnya
menyanggupi persyaratan tersebut.

“Baiklah, Tuan Ular N’Daung. Saya bersedia menikah dengan
Tuan setelah ibu saya sehat kembali,” kata si Bungsu.

Ular N’Daung segera masuk ke dalam gua dengan perasaan
gembira. Tak lama kemudian, ia pun kembali dengan membawa sebutir bara gaib.

“Bawalah bara gaib ini! Semoga penyakit ibumu cepat sembuh,”
ujar Ular N’Daung seraya menyerahkan bara gaib itu kepada si Bungsu.

“Terima kasih, Tuan Ular N’Daung,” ucap si Bungsu seraya
berpamitan.

Si Bungsu segera membawa pulang bara gaib itu. Setiba di
rumah, ia pun disambut oleh sang Tabib dan kedua kakaknya dengan perasaan heran
bercampur gembira.

“Hai, Bungsu! Bagaimana caranya kamu bisa selamat dari Ular
N’Daung itu?” tanya sang Tabib heran.

Si Bungsu pun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya
di puncak gunung hingga ia mendapatkan bara gaib itu. Kedua kakaknya yang
mendengar cerita itu bukannya prihatin kepada si Bungsu melainkan menyindirnya.

“Ah, masa manusia menikah dengan ular?” celetuk si Sulung.

“Sudahlah! Mestinya kalian berterima kasih kepada adikmu
yang telah mempertaruhkan dirinya demi memperoleh bara gaib ini,” ujar sang
Tabib.

Setelah itu, sang Tabib segera memasak ramuan daun hutan
yang telah disiapkan dengan bara gaib. Alhasil, janda tua itu sehat kembali
setelah meminum ramuan tersebut. Ia 
merasa amat bahagia begitu mengetahui bahwa dirinya sembuh berkat
pengorbanan si Bungsu.

“Terima kasih, Bungsu! Engkau memang anak yang pandai
berbakti kepada orang tua. Engkau telah mengorbankan segalanya demi kesembuhan
Ibu,” puji sang Ibu.

“Sudahlah, Bu. Tidak usahlah memuji seperti itu. Yang
penting sekarang Ibu sudah kembali sehat,” kata si Bungsu merendahkan diri.

Keesokan harinya, si Bungsu pun berpamitan kepada ibu dan
kedua kakaknya untuk kembali ke puncak gunung. Suasana haru pun menyelimuti
hati keluarga kecil itu.

“Maafkan aku, Bu. Aku harus kembali ke puncak gunung untuk
menepati janji pada Ular N’Daung. Mohon doa restunya, ya Bu!” pinta si Bungsu.

“Iya, Anakku. Ibu merestui. Tapi, Ibu berharap semoga Ular
N’Daung itu berubah pikiran,” harap sang Ibu sambil meneteskan air mata.

“Iya, Bu. Bungsu pun berharap begitu. Tapi, kalau tidak,
barangkali itu memang sudah menjadi nasib Bungsu harus menikah dengan ular,”
kata si Bungsu.

Akhirnya, si Bungsu kembali ke puncak gunung untuk menemui
Ular N’Daung dan tinggal di gua itu. Pada malam harinya, si Bungsu dikejutkan
oleh sebuah peristiwa ajaib. Ia menyaksikan Ular N’Daung berubah wujud menjadi
seorang kesatria yang tampan dan gagah perkasa.

“Hai, bagaimana hal ini bisa terjadi?” tanya si Bungsu
dengan heran, “Siapa sebenarnya Kanda?”

“Maaf, Dinda. Kanda adalah seorang pangeran dari sebuah
kerajaan di negeri ini. Nama saya Pangeran Abdul Rahman Almsjah,” ungkap Ular
N’Daung yang telah berubah wujud seorang pangeran itu.

Pangeran itu kemudian menceritakan bahwa dirinya disihir
menjadi seekor ular oleh pamannya karena menginginkan kedudukannya sebagai
calon raja. Ia juga berjanji baru akan menikahi si Bungsu setelah sihir itu
sirna dari tubuhnya.

“Kelak jika sihir ini telah hilang pada diri Kanda, barulah
Kanda akan menikahimu,” kata sang Pangeran, “Kamu tetaplah tinggal bersamaku di
gua ini hingga sihir itu hilang.”

“Baik, Kanda,” kata si Bungsu.

Sementara itu, ibu dan kakak-kakak si Bungsu penasaran ingin
mengetahui keadaan si Bungsu. Mereka pun kemudian naik ke puncak gunung dan
tiba di sana saat hari sudah gelap. Alangkah terkejutnya mereka saat melihat
suami si Bungsu seorang lelaki tampan dan perkasa. Apalagi ketika mereka
mengetahui bahwa suami si Bungsu adalah seorang pangeran.

Mengetahui hal tersebut, maka timbullah perasaan iri hati
pada diri kedua kakak si Bungsu. Mereka pun berniat jahat untuk menfitnah
adiknya itu dengan cara membakar kulit Ular N’Daung. Dengan begitu, pangeran
itu akan murka kepada si Bungsu dan mengusirnya.

Saat si Bungsu dan pangeran itu terlelap, kedua kakak si
Bungsu segera menjalankan niat jahat mereka. Keduanya diam-diam mencuri kulit
Ular N’Daung lalu membakarnya. Setelah itu, abu bekas pembakaran itu mereka
letakkan di samping si Bungsu lalu kembali tidur.

Ketika hari menjelang pagi, Pangeran Abdul Rahman Alamsjah
pun bangun hendak mengenakan kulit ularnya. Alangkah senangnya hati pangeran
itu saat melihat kulit ularnya terbakar. Ia pun segera membangunkan si Bungsu.

“Dinda, ayo cepat bangun!” seru sang Pangeran.

“Apa yang terjadi, Kanda?” tanya si Bungsu dengan panik.

“Lihatlah, ada orang yang telah membakar kulit ularku,”
jawab pangeran itu, “Apakah Dinda yang melakukannya?”

“Bukan, Kanda,” jawab si Bungsu.

“Ya, syukurlah kalau begitu. Berarti Kanda benar-benar
terbebas dari sihir itu,” kata Pangeran Alamsjah dengan gembira, “Jika ada
orang yang membakar kulit ularku secara sukarela, maka sihir yang melekat pada
diri Kanda akan sirna,” ungkap Pangeran.

Si Bungsu pun segera menyampaikan berita gembira itu kepada
ibu dan kedua kakaknya. Mendengar kabar tersebut, kedua kakaknya merasa amat
menyesal dan mengakui bahwa merekalah yang melakukan pembakaran kulit ular itu.
Akhirnya, Ular N’Daung yang kini telah kembali menjadi pangeran bermaksud
memboyong si Bungsu dan keluarganya. Namun, kedua kakaknya menolak ikut serta karena
merasa malu dengan perbuatan mereka.

Setiba di istana, Pangeran Abdul Rahman Alamsjah segera
mengusir pamannya dari istana. Setelah dinobatkan menjadi raja, ia pun menikahi
si Bungsu dengan pesta yang amat meriah. Mereka pun hidup berbahagia.

Demikian cerita Kisah Ular N’Daung dari daerah Bengkulu.
Sedikitnya ada tiga pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas yaitu,
keutamaan sifat rajin dan berbakti kepada kedua orang tua seperti halnya si
Bungsu, serta akibat buruk dari sifat iri hati seperti halnya kedua kakak si
Bungsu.


Eksplorasi konten lain dari PRAKATA.ID

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.