Info terupdate
SISI LAIN REALITA
Indeks

Kisah Rara Mendut

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Rara Mendut atau Roro Mendut (dalam bahasa Jawa) adalah
seorang gadis cantik yang berpendirian teguh. Karunia kecantikan yang luar
biasa membuat  Rara Mendut menjadi
rebutan para pria, mulai dari kalangan rakyat biasa, bangsawan, hingga panglima
perang. Suatu ketika, Rara Mendut diculik oleh Adipati Pragolo II, penguasa
Kadipaten Pati untuk dijadikan selir. Namun, sebelum menjadi selir Adipati
Pragolo II, Rara Mendut direbut oleh panglima perang Kerajaan Mataram,
Tumenggung Wiraguna untuk dijadikan selir pula. Bagaimana nasib Rara Mendut
selanjutnya? Berikut kisahnya dalam cerita Kisah Rara Mendut.

Dahulu, di pesisir pantai utara Pulau Jawa, tepatnya di
daerah Pati, Jawa Tengah, tersebutlah sebuah desa nelayan bernama Teluk Cikal.
Desa itu termasuk ke dalam wilayah Kadipaten Pati yang diperintah oleh Adipati
Pragolo II. Kadipaten Pati sendiri merupakan salah satu wilayah taklukan dari
Kesultanan Mataram yang dipimpin oleh Sultan Agung.

Di Teluk Cikal, hidup seorang gadis anak nelayan bernama
Rara Mendut. Ia seorang gadis yang cantik dan rupawan. Rara Mendut juga dikenal
sebagai seorang gadis yang teguh pendirian. Ia tidak sungkan-sungkan menolak
para lelaki yang datang melamarnya sebab ia sudah memiliki calon suami, yakni
seorang pemuda desa yang tampan bernama Pranacitra, putra Nyai Singabarong,
seorang saudagar kaya-raya.

Suatu hari, berita tentang kecantikan dan kemolekan Rara
Mendut terdengar oleh Adipati Pragolo II. Penguasa Kadipaten Pati itu pun
bermaksud menjadikannya sebagai selir. Sudah berkali-kali ia membujuknya, namun
Rara Mendut tetap menolak. Merasa dikecewakan, Adipati Pragolo II mengutus
beberapa pengawalnya untuk menculik Rara Mendut.

Hari itu, ketika Rara Mendut sedang asyik menjemur ikan di
pantai seorang diri, datanglah utusan Adipati Progolo.

“Ayo gadis cantik, ikut kami ke keraton!” seru para pengawal
itu sambil menarik kedua tangan Rara Mendut dengan kasar.

“Lepaskan, aku!” teriak Rara Mendut sambil meronta-ronta,
“Aku tidak mau menjadi selir Adipati Pragolo. Aku sudah punya kekasih!”

Para pengawal itu tidak peduli dengan rengekan Rara Mendut.
Mereka terus menyeret gadis itu naik ke kuda lalu membawanya ke keraton.
Sebagai calon selir, Rara Mendut dipingit di dalam Puri Kadipaten Pati di bawah
asuhan seorang dayang bernama Ni Semangka dengan dibantu oleh seorang dayang
yang lebih muda bernama Genduk Duku.

Sementara Rara Mendut dalam masa pingitan, di Kadipaten Pati
sedang terjadi gejolak. Sultan Agung menuding Adipati Pragolo II sebagai
pemberontak karena tidak mau membayar upeti kepada Kesultanan Mataram. Sultan
Agung pun memimpin langsung penyerangan ke Kadipaten Pati.

Menurut cerita, Sultan Agung tidak mampu melukai Adipati
Pragolo II karena penguasa Pati itu memakai kere waja (baju zirah) yang tidak
mempan senjata apapun. Melihat hal itu, abdi pemegang payung sang Sultan yang
bernama Ki Nayadarma pun berkata,

“Ampun, Gusti Prabu. Perkenankanlah hamba yang menghadapi
Adipati Pragolo!” pinta Ki Nayadarma seraya memberi sembah.

 

“Baiklah, Abdiku. Gunakanlah tombak Baru Klinting ini!” ujar
sang Sultan.

Berbekal tombak pusaka Baru Klinting, Ki Nayadarma langsung
menyerang Adipati Pragolo II. Namun, serangannya masih mampu ditepis oleh
Adipati Pragolo II. Saat Adipati itu lengah, Ki Nayadarma dengan cepat
menikamkan pusaka Baru Klinting ke bagian tubuh sang Adipati yang tidak
terlindungi oleh baju zirah. Adipati Pragolo II pun tewas seketika.

Sementara itu, para prajurit yang dikomandani panglima
perang Mataram, Tumenggung Wiraguna, segera merampas harta kekayaan Kadipaten
Pati, termasuk Rara Mendut. Tumenggung Wiraguna langsung terpesona saat melihat
kecantikan Rara Mendut. Ia pun memboyong Rara Mendut ke Mataram untuk dijadikan
selirnya.

Tumenggung Wiraguna berkali-kali membujuk Rara Mendut untuk
dijadikan selir, namun selalu ditolak. Bahkan, di hadapan panglima itu, ia
berani terang-terangan menyatakan bahwa dirinya telah memiliki kekasih bernama
Pranacitra. Sikap Rara Mendut yang keras kepala itu membuat Tumenggung Wiraguna
murka.

“Baiklah, Rara Mendut. Jika kamu tidak ingin menjadi
selirku, maka sebagai gantinya kamu harus membayar pajak kepada Mataram!” ancam
Tumenggung Wiraguna.

Rara Mendut tidak gentar mendengar ancaman itu. Ia lebih
memilih membayar pajak daripada harus menjadi selir Tumenggung Wiraguna. Oleh
karena masih dalam pengawasan prajurit Mataram, Rara Mendut kemudian meminta
izin untuk berdagang rokok di pasar. Tumenggung Wiraguna pun menyetujuinya.
Ternyata, dagangan rokoknya laku keras, bahkan, orang juga beramai-ramai
membeli puntung rokok bekas isapan Rara Mendut.

Suatu hari, ketika sedang berjualan di pasar, Rara Mendut
bertemu dengan Pranacitra yang sengaja datang mencari kekasihnya itu.
Pranacitra berusaha mencari jalan untuk bisa melarikan Rara Mendut dari
Mataram.

Setiba di istana, Rara Mendut menceritakan perihal
pertemuannya dengan Pranacitra kepada Putri Arumardi, salah seorang selir
Wiraguna, dengan harapan dapat membantunya keluar dari istana. Rara Mendut tahu
persis bahwa Putri Arumardi tidak setuju jika Wiraguna menambah selir lagi.

Putri Arumardi dan selir Wiraguna lainnya yang bernama Nyai
Ajeng menyusun siasat untuk mengeluarkan Rara Mendut ke luar dari istana.
Bersama dengan Pranacitra, Rara Mendut berusaha untuk kembali ke kampung
halamannya di Kadipaten Pati.

Namun sungguh disayangkan, pelarian Rara Mendut dan
Pranacitra diketahui oleh Wiraguna. Pasangan ini akhirnya berhasil ditemukan
oleh para prajurit Wiraguna. Rara Mendut pun dibawa kembali ke Mataram,
sedangkan secara diam-diam, Wiraguna memerintahkan abdi kepercayaannya untuk
menghabisi nyawa Pranacitra. Alhasil, kekasih Rara Mendut itu tewas dan
dikuburkan di sebuah hutan terpencil di Ceporan, Desa Gandhu, terletak kurang
lebih 9 kilometer sebelah timur Kota Yogyakarta.

Sepeninggal Pranacitra, Tumenggung Wiraguna kembali membujuk
Rara Mendut agar mau menjadi selirnya. Namun, usahanya tetap sia-sia, gadis
cantik itu tetap menolak. Sang Panglima pun tidak kehabisan akal. Ia kemudian
menceritakan perihal kematian Pranacitra kepada Rara Mendut.

“Sudahlah, Rara Mendut. Percuma saja kamu menikah dengan
Pranacitra,” ujar Tumenggung Wiraguna.

 

“Apa maksud, Tuan?” tanya Rara Mendut mulai cemas.

“Pemuda yang kamu kasihi itu sudah tidak ada lagi,” jawab
Tumenggung Wiraguna.

“Kanda Pranacitra sudah tidak ada? Ah, itu tidak mungkin
terjadi. Aku baru saja bertemu dengannya kemarin,” kata Rara Mendut tidak
percaya.

“Jika kamu tidak percaya, ikutlah bersamaku, akan
kutunjukkan kuburnya,” ujar Tumenggung Wiraguna.

Rara Mendut pun menurut untuk membuktikan perkataan
Tumenggung Wiraguna. Betapa terkejutnya Rara Mendut begitu sampai di tempat
Pranacitra dikuburkan. Ia berteriak histeris di hadapan makam kekasihnya.

“Kanda, jangan tinggalkan Dinda!” tangis Rara Mendut.

“Sudahlah, Mendut! Tak ada lagi gunanya meratapi orang yang
sudah mati,” ujar Wiraguna, “Ayo, kita tinggalkan tempat ini!”

Rara Mendut pun bangkit lalu mengikuti Tumenggung Wiraguna
sambil terus menangis. Belum jauh mereka meninggalkan tempat pemakaman itu,
Rara Mendut pun murka dan mengancam akan melaporkan perbuatan Wiraguna kepada
Raja Mataram, Sultan Agung.

“Tuan jahat sekali. Perbuatan Tuan akan kulaporkan kepada
Raja Mataram agar mendapat hukuman yang setimpal!” ancam Rara Mendut.

Seketika, Tumenggung Wiraguna menjadi sangat marah. Ia
kemudian menarik tangan Rara Mendut untuk dibawa pulang ke rumahnya. Namun,
gadis itu menolak dan meronta-ronta untuk melepaskan diri. Begitu tangannya
terlepas, ia menarik keris milik Tumenggung Wiraguna yang terselip di
pinggangnya. Rara Mendut kemudian berlari menuju makam kekasihnya. Panglima itu
pun berusaha mengejarnya.

“Berhenti, Mendut!” teriaknya.

Setiba di makam Pranacitra, Rara Mendut bermaksud untuk
bunuh diri.

“Jangan, Mendut! Jangan lakukan itu!” teriak Tumenggung
Wiraguna yang baru saja sampai.

Namun, semuanya sudah terlambat. Rara Mendut telah menikam
perutnya dengan keris yang dibawanya. Tubuhnya pun langsung roboh dan tewas di
samping makam kekasihnya. Melihat peristiwa itu, Tumenggung Wiraguna merasa
amat menyesal atas perbuatannya.

“Oh, Tuhan. Sekiranya aku tidak memaksanya menjadi selirku,
tentu Rara Mendut tidak akan nekad bunuh diri,” sesal Tumenggung Wiraguna.

Penyesalan itu tak ada gunanya karena semuanya sudah
terjadi. Untuk menebus kesalahannya, Tumenggung Wiraguna menguburkan Rara
Mendut satu liang dengan Pranacitra. Begitulah kisah perjuangan Rara Mendut
dalam mempertahankan harga diri dan kesetiaannya.

Demikian cerita Kisah Rara Mendut dari Kabupaten Pati, Jawa
Tengah. Hingga kini, kisah ini masih dikenang dan menjadi simbol cinta yang
abadi dalam masyarakat Jawa. Oleh YB. Mangunwijaya, cerita ini telah ditulis
dalam trilogi karya sastra klasik berjudul Rara Mendut, Genduk Duku, dan Lusi
Lindri yang dimuat di harian Kompas secara bersambung. Sekitar tahun 1983,
novel ini kemudian diadaptasi menjadi sebuah film yang berjudul “Roro Mendut”
yang disutradarai oleh Ami Prijono. Tahun 2008, novel trilogi ini kembali
diterbitkan ke dalam gabungan sebuah novel yang berjudul Rara Mendut: Sebuah
Trilogi.

Adapun pesan moral yang dapat dipetik dari kisah di atas
adalah bahwa harta, pangkat, dan jabatan bukanlah jaminan untuk mendapatkan
cinta sejati seseorang. Cinta sejati tidak selamanya bisa dinilai dengan
materi, namun justru cinta itu hadir karena perasaan saling memberi-menerima
dan memiliki sebagaimana kisah Rara Mendut dan Pranacitra.


Eksplorasi konten lain dari PRAKATA.ID

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.