Alkisah, di daerah Bengkulu, hiduplah seorang raja yang
bernama Raja Mawang yang berkedudukan di Lebong. Raja Mawang mempunyai enam
putra, dan seorang putri. Mereka adalah Ki Gete, Ki Tago, Ki Ain, Ki Jenain, Ki
Geeting, Ki Karang Nio, dan Putri Serindang Bulan. Saat berusia senja dan tidak
dapat lagi melaksanakan tugas-tugas kerajaan, Raja Mawang menunjuk putra
keenamnya, Ki Karang Nio yang bergelar Sultan Abdullah, untuk menggantikan
kedudukannya. Tidak beberapa lama setelah Ki Karang Nio menjabat sebagai raja,
Raja Mawang pun wafat.
Legenda Putri Serindang Bulan
Sepeninggal Raja Mawang, terjadilah prahara di antara
putra-putrinya akibat penyakit kusta yang diderita oleh Putri Serindang Bulan.
Penyakit itu muncul setiap kali ada raja yang datang melamarnya. Akibatnya,
pertunangan pun selalu batal. Anehnya, jika pertunangan itu batal, penyakit
kusta itu pun hilang. Peristiwa tersebut tidak hanya sekali terjadi, tetapi
berulang hingga sembilan kali. Peristiwa tersebut menjadi aib bagi keluarga
istana. Oleh karena itu, keenam kakak Putri Serindang Bulan mengadakan
pertemuan untuk mencari cara agar dapat menghapus aib tersebut.
“Jika hal ini dibiarkan terus terjadi, nama baik keluarga
kita akan semakin jelek di mata para raja. Apa yang harus kita lakukan untuk
mengatasi masalah ini?” tanya Ki Gete membuka pembicaraan.
Mendengar pertanyaan itu, kelima saudaranya hanya terdiam.
Sejenak, suasana sidang menjadi hening. Di tengah keheningan itu, tiba-tiba Ki
Karang Nio angkat bicara.
Baca Juga:
Kerajaan Ternate – Sejarah Lengkap, Awal Mula, Raja,…
Kisah Lutung Kasarung
Legenda I Laurang Sang Manusia Udang – Sulawesi Selatan
Kerajaan Singasari – Sejarah Lengkap Kerajaan Nusantara
“Bagaimana kalau Putri Serindang Bulan kita asingkan saja ke
tempat yang jauh dari keramaian,” usul Ki Karang Nio.
“Apakah ada yang setuju dengan usulan Ki Karang Nio?” tanya
Ki Gete.
Tak seorang pun peserta sidang yang menjawab. Rupanya,
mereka tidak sepakat dengan usulan Ki Karang Nio.
“Kalau menurutku, sebaiknya Putri Serindang Bulan kita bunuh
saja,” sahut Ki Tago.
Mendengar usulan Ki Tago, para putra Raja Mawang tersebut
langsung sepakat, kecuali Ki Karang Nio. Meskipun ia seorang raja, Ki Karang
Nio harus menerima keputusan itu, karena ia kalah suara oleh kakak-kakaknya.
Dalam pertemuan itu juga diputuskan bahwa Ki Karang Nio-lah yang harus
melaksanakan tugas itu. Untuk membuktikan bahwa ia telah melaksanakan tugasnya,
ia harus membawa pulang setabung darah Putri Serindang Bulan.
Setelah pertemuan selesai, Ki Karang Nio segera menemui
Putri Serindang Bulan. Betapa sedihnya hati putri yang malang itu mendengar
keputusan kakak-kakaknya. Namun, ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya bisa
pasrah dan menyerahkan nasibnya kepada Tuhan Yang Mahakuasa Kuasa.
“Ya, Tuhan! Lindungilah hambamu yang tidak berdaya ini!”
ucap Putri Serindang Bulan dengan air mata bercucuran membasahi pipinya yang
berwarna kemerah-merahan.
“Maafkan aku, Dik! Aku juga tidak berdaya menghadapi
mereka,” ucap Ki Karang Nio seraya menghapus air mata adiknya.
Pada hari yang telah ditentukan, Ki Karang Nio pun
bersiap-siap untuk membawa adiknya ke sebuah hutan yang sangat lebat untuk
dibunuh. Sebelum mereka berangkat, Putri Serindang Bulan mengajukan satu
permohonan kepada Ki Karang Nio.
“Kak, bolehkah Adik membawa bakoa (tempat daun sirih) dan
ayam hirik peliharaanku?” pinta Putri Serindang Bulan.
“Untuk apa, Adikku?” tanya Ki Karang Nio.
“Jika Adik telah mati, kuburkanlah bakoa dan ayam hirik ini
bersama jasad Adik. Hanya itulah yang Adik miliki selain Kakak,” jawab Putri
Serindang Bulan.
Setelah berpamitan kepada kakak-kakaknya, Ki Karang Nio dan
Putri Serindang Bulan pun berangkat menuju ke hutan. Di sepanjang perjalanan,
kedua kakak-beradik tersebut tidak pernah saling menyapa. Hati Putri Serindang
Bulan diselimuti perasaan sedih, sedangkan Ki Karang Nio berpikir mencari cara
agar adiknya bisa selamat. Setelah berpikir keras, akhirnya ia pun menemukan
cara untuk mengelabui kakaknya. Setibanya di tengah hutan, mereka pun berhenti
di tepi Sungai Air Ketahun.
“Adikku, sepertinya kita sudah terlalu jauh berjalan.
Sebaiknya kita berhenti di sini saja!” Seru Ki Karang Nio.
“Baiklah, Kak! Silahkan laksanakan tugas Kakak!” seru Puri
Serindang Bulan.
“Tidak, Adikku! Aku tidak akan sampai hati membunuh adik
kandungku sendiri,” kata Ki Karang Nio.
“Lakukanlah, Kak! Adik rela mati demi keselamatan Kakak.
Jika Kakak tidak membunuh Adik, nyawa Kakak akan terancam. Saudara-saudara kita
di istana pasti akan membunuh Kakak,” desak Putri Serindang Bulan.
Akhirnya, Ki Karang Nio memberitahukan rencananya kepada
Putri Serindang Bulan bahwa ia akan mengelabui kakak-kakaknya.
“Aku tidak akan membunuhmu, Adikku! Aku akan membuatkanmu
sebuah rakit. Dengan rakit itu, kamu ikuti aliran Sungai Air Ketahun ini. Kakak
berharap ada orang yang menolongmu,” ujar Ki Karang Nio.
“Tapi, bukankah Kakak harus membawa pulang setabung darah
Adik untuk dijadikan bukti kepada mereka?” tanya Putri Serindang Bulan.
“Benar, Adikku! Jika kamu tidak keberatan, bolehkah aku
menyayat tanganmu? Aku akan mengambil sedikit darahmu dan mencampurkannya
dengan darah binatang,” pinta Ki Karang Nio.
“Silahkan, Kak! Kakak pun boleh menyembelih ayam hirik ini
untuk diambil darahnya!” seru Putri Serindang Bulan.
Dengan berat hati, Ki Karang Nio pun menyayat tangan Putri
Serindang Bulan. Kemudian, darah yang keluar dari tangan adiknya tersebut ia
campurkan dengan darah ayam hirik yang telah disembelih sebelumnya, lalu ia
masukkan ke dalam tabung. Setelah itu, ia menyuruh Serindang Bulan untuk naik
ke rakit yang sudah disiapkan.
“Pergilah, Adikku! Hati-hatilah di jalan! Semoga Tuhan Yang
Mahakuasa senatiasa melindungimu!” seru Ki Karang Nio.
“Terima kasih, Kak! Semoga kita dapat bertemu kembali,” ucap
Putri Serindang Bulan sambil meneteskan air mata.
Ki Karang Nio pun tidak mampu membendung air matanya. Ia
tidak tega melihat adik yang sangat disayanginya itu hanyut terbawa aliran air
sungai. Setelah Putri Serindang Bulan hilang dari pandangannya, Ki Karang Nio
pun bergegas kembali ke istana untuk melapor kepada kakak-kakaknya bahwa ia
telah melaksanakan tugasnya. Kakak-kakaknya pun mempercayainya dengan bukti
berupa tabung yang berisi darah tersebut.
Sementara itu, setelah berhari-hari hanyut di sungai, Putri
Serindang Bulan akhirnya terdampar di Pulau Pagai, di lepas pantai muara Air
Ketahun. Berkat pertolongan Tuhan Yang Mahakuasa, ia ditemukan oleh Raja
Indrapura yang sedang berburu di pulau itu.
“Hai, Putri Cantik! Kamu siapa dan kenapa bisa berada di
tempat ini?” tanya Raja Indrapura.
Putri Serindang Bulan pun menceritakan semua peristiwa yang
dialaminya hingga ia berada di tempat itu. Mendengar cerita itu, Raja Indrapura
sangat terharu. Akhirnya, ia membawa Putri Serindang Bulan ke istananya di
Negeri Setio Barat. Tak berapa lama kemudian, terdengarlah kabar bahwa Raja
Indrapura akan menikah dengan Putri Serindang Bulan. Berkat kesaktian Raja
Indrapura, penyakit kusta sang Putri tidak pernah kambuh lagi. Berita tentang
pernikahan mereka pun sampai ke telinga kakak-kakaknya di Lebong.
“Apa, Putri Serindang Bulan masih hidup?” celetuk Ki Gete
setelah mendengar laporan dari seorang prajurit istana.
Ki Gete dan keempat adiknya sangat marah kepada Ki Karang
Nio, karena telah mengelabui mereka. Namun, mereka tidak berani membunuh
adiknya itu, karena takut mendapat murka dari Raja Indrapura. Akhirnya, mereka
bersepakat untuk menghadiri pesta perkawinan Putri Serindang Bulan dengan Raja
Indrapura di Negeri Setio Barat. Ki Karang Nio tidak lupa membawa perselen,
yaitu semacam emas sebagai uang jujur Putri Serindang Bulan. Setibanya di pesta
tersebut, Putri Serindang Bulan dan Raja Indrapura pun menyambut kedatangan
mereka dengan ramah. Bahkan ketika mereka akan kembali ke Lebong, Raja
Indrapura menghadiahi mereka berbagai perhiasan emas.
Dalam perjalanan pulang ke Lebong, kapal yang mereka
tumpangi diterjang badai dan dihempas ombak besar hingga pecah. Mereka
terdampar di sebuah pulau yang bernama Ipuh. Semua perhiasan emas pemberian
Raja Indrapura tersebut tenggelam di dasar laut, kecuali milik Ki Karang Nio.
Rupanya, kelima kakaknya itu iri hati kepada Ki Karang Nio dan berniat untuk
membunuhnya, lalu mengambil perhiasannya. Mengetahui niat busuk kakak-kakaknya
itu, Ki Karang Nio pun menyampaikan kata-kata bijak kepada mereka.
“Hartoku harto udi, harto udi hartoku, barang udi cigai, uku
maglek igai.” Artinya:
“Hartaku harta kalian, harta kalian adalah hartaku, barang
kalian hilang, aku memberinya.”
Kata-kata bijak Ki Karang Nio tersebut benar-benar menyentuh
perasaan kelima kakaknya. Apalagi ketika Ki Karang Nio membagikan hartanya
kepada mereka dengan jumlah yang sama, hati kelima kakaknya itu semakin
tersentuh karena kemuliaan hati adiknya.
“Adikku! Engkau adalah saudaraku yang arif dan bijaksana.
Engkau memang pantas menjadi Raja di Lebong,” ucap Ki Gete dengan perasaan
kagum.
“Benar, Adikku! Kami sangat bangga memiliki adik sepertimu.
Kami sangat menyesal karena selalu bertindak kasar terhadapmu. Kembalilah ke
Lebong, Adikku! Kami akan tinggal di pulau ini saja,” seru Ki Jenain.
Ketika Ki Karang Nio akan berpamitan hendak kembali ke
Lebong, salah seorang kakaknya berkata, ”Huo ite sa‘ok, kame cigai belek!
(artinya: sekarang ini kita berpisah dan kami tidak akan pulang lagi!)” Menurut
empunya cerita, kata-kata tersebut menjadi terkenal di kalangan masyarakat
Lebong, karena tempat mereka mengucapkan kata-kata tersebut sekarang dinamakan
Teluk Sarak. Kata sarak diambil dari kata sa‘ok, yang berarti berpisah.
Sekembalinya ke Lebong, Ki Karang Nio menikah dengan seorang
putri raja dan kemudian dikaruniai dua orang putra, yaitu Ki Pati dan Ki
Pandan. Ia memerintah rakyat Lebong dengan arif dan bijaksana. Ketika usianya
sudah tua, Ki Karang Nio meminta adiknya, Putri Serindang Bulan yang menjadi
permaisuri di kerajaan lain, agar kembali ke Lebong untuk memilih salah seorang
putranya yang akan menggantikannya sebagai raja.
Akhirnya, ketika kembali ke Lebong bersama suaminya, Putri
Serindang Bulan menetapkan Ki Pandan untuk menggantikan ayahnya, Ki Karang Nio.
Sementara Ki Pati mendirikan biku di sebuah daerah yang kini dikenal dengan
Somelako.
Demikian dongeng Putri Serindang Bulan dari daerah Bengkulu.
Menurut cerita, Putri Serindang Bulan merupakan lambang kebijaksanaan,
keadilan, dan kecantikan di Lebong. Oleh masyarakat setempat, ia juga dijuluki
sebei Lebong (nenek Lebong). Ia menjadi lambang kebijaksanaan, keadilan, dan
kecantikan, karena selain berwajah cantik nan rupawan, ia memiliki sifat yang
adil dan bijaksana. Ia juga tidak pernah menaruh dendam kepada kakak-kakaknya
yang telah berencana membunuhnya.
Selain itu, cerita di atas juga memberikan pelajaran bahwa
antar sesama saudara harus saling menyayangi dan melindungi. Hal ini ditunjukkan
oleh sifat dan perilaku Ki Karang Nio. Karena sifat kasih sayangnya, ia selalu
melindungi adik kandungnya, Putri Serindang Bulan. Bagi orang Melayu, dengan
berkasih sayang antarsesama, kehidupan yang aman, damai, dan sejahtera dapat
diwujudkan. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu (Tenas Effendy: 2006):
kalau hidup berkasih sayang, negeri damai, hidup pun tenang kalau kuncup sudah mengembang banyaklah kumbang datang menyerik. Kalau hidup berkasih sayang Hidup tenang makmurlah negeri
Eksplorasi konten lain dari PRAKATA.ID
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.