Prasasti Munjul berhuruf Palawa dan berbahasa Sanskerta,
dipahat pada sebuah batu andesit yang berukuran panjang 3,2 m dan lebar 2,25m.
Prasasti Munjul ditulis menggunakan teknik tatah dengan kedalaman gores kurang
dari 0,5 cm, sehingga antara permukaan batu asli dengan tulisan hampir sama.
Prasasti dengan bahasa Sansekerta tersebut ditulis oleh raja
ketiga Kerajaan Tarumanegara, Raja Purnawarman (395-434 M.). Menurut cerita,
Purnawarman menulis prasasti itu untuk mengabadikan sebuah peristiwa besar yang
terjadi di daerah Munjul. Peristiwa apakah itu? Temukan jawabannya dalam cerita
Legenda Prasasti Munjul berikut ini!
Dahulu, perairan Ujung Kulon di sekitar Selat Sunda dikuasai
oleh para bajak laut yang menjadi ancaman bagi para nelayan di daerah itu. Kaum
perompak itu sering merampas ikan hasil tangkapan para nelayan. Pada masa
pemerintahan Raja Purnawarman, terdapat suatu gerombolan bajak laut yang
beranggotakan 80 orang. Kelompok bajak laut yang sering beraksi di perairan
wilayah Kerajaan Tarumanegara itu dipimpin oleh seorang yang sakti, ia bisa
berubah wujud sesuai kehendaknya.
Pada suatu hari, gerombolan bajak laut itu sedang merampok
perahu yang ditumpangi oleh tiga orang nelayan. Namun, baru saja para perompak
itu memindahkan ikan hasil rampasan ke kapal mereka, tiba-tiba dari kejauhan
terlihat sebuah kapal besar berbendera naga sedang menuju ke arah mereka. Kapal
besar itu ternyata adalah kapal milik Kerajaan Tarumanegara. Pemimpin bajak
laut justru merasa senang karena akan memperoleh harta rampasan yang banyak.
Tanpa membuang waktu lagi, ia segera memerintahkan anak buahnya untuk menyerang
kapal kerajaan itu.
Terjadilah pertempuran sengit antara pasukan kerajaan yang
ada di dalam kapal dengan bajak laut. Pasukan kerajaan dipimpin oleh seorang
menteri dengan dibantu oleh seorang laksamana. Dalam pertempuran itu, kubu
bajak laut ternyata lebih kuat daripada pasukan kerajaan. Menteri, laksamana,
dan sejumlah awak kapal kerajaan tewas, dan mayat-mayat mereka dilemparkan ke
tengah laut. Semua harta benda yang ada di kapal pun dikuras habis oleh para
begundal itu.
Seminggu berselang, terlihat dua nelayan sedang memancing di
laut. Mereka adalah Wamana dan Bhimaparakrama atau Bhima. Ketika sedang asyik
memancing, tiba-tiba Bhima melihat mayat yang mengapung di atas air.
“Hai lihat, ada orang hanyut!” seru Bhima yang segera
menghampiri sesosok tubuh yang tertelungkup di atas sebuah tameng kayu itu.
Ternyata orang itu masih hidup, hanya saja tubuhnya penuh dengan luka yang amat
parah. Kedua nelayan itu pun segera membawa tubuh orang malang tersebut ke
pantai untuk diberi pertolongan.
“Hai, sepertinya dia prajurit kerajaan,” kata Wamana saat
melihat pakaian yang dikenakan orang itu.
“Kamu benar,” sahut Bhima.
Setelah siuman, prajurit itu pun menceritakan peristiwa yang
telah dialaminya mengenai kejadian perompakan seminggu yang lalu. Setelah
mendengar cerita itu, Wamana dan Bhima segera mengantar prajurit itu ke istana
untuk melapor kepada Raja Purnawarmana.
“Betul-betul kejam dan biadab para bajak laut itu!” kata
Raja Purnawarman geram begitu mendengar laporan tersebut. “Dengan ini, aku
menyatakan perang terhadap gerombolan bajak laut itu!” ucap sang Raja.
Keesokan harinya, puluhan kapal perang kerajaan bertolak
meninggalkan pelabuhan dan dipimpin langsung oleh Raja Purnawarman yang
didampingi oleh Panglima Cakrawarman, Senopati Arwajala, serta Nagawarman.
Wamana dan Bhima pun ikut serta dalam rombongan itu. Setelah berlayar selama
beberapa hari, pada suatu malam armada kerajaan tiba di perairan Ujung Kulon.
Dalam kegelapan yang mencekam, tampak dua titik cahaya kecil di tengah lautan.
“Hai, lihat cahaya itu! Aku yakin itu adalah penerangan
kapal bajak laut,” kata Panglima Cakrawarman kepada Senopati Arwajala. Bergegas
mereka melaporkan hal ini kepada sang Raja.
Raja Purnawarman kemudian segera memerintahkan seluruh
pasukannya untuk bersiap-siap menyerang. Puluhan kapal perang perlahan-lahan
mendekati kapal milik bajak laut itu dan lalu mengepungnya.
Sementara itu, gerombolan bajak laut yang berada di dalam
kapal itu tidak menyadari kehadiran pasukan kerajaan. Rupanya, mereka sudah
terlelap, kecuali tiga orang yang terlihat masih terjaga. Itu pun mereka sedang
asyik bermain judi di bawah penerangan lampu damar. Tiba-tiba mereka dikejutkan
oleh suara-suara desingan yang begitu ramai. Ketika mereka hendak beranjak,
ratusan mata tombak menyerbu ke kapal mereka.
“Kapal kita diserang… Kapal kita diserang!” seru ketiga
bajak laut itu panik.
Pemimpin bajak laut dan anak-anak buahnya yang lain
terbangun dari tidur mereka. Salah seorang dari mereka bertindak cepat dengan
melompat ke jendela untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi. Alangkah
terkejut ia saat melihat puluhan kapal milik kerajaan telah mengepung kapal
mereka.
“Kapal kita dikepung! Kapal kita dikepung!” teriaknya.
Belum sempat mereka menyiapkan senjata, tiba-tiba terdengar
bunyi terompet yang menggema.
“Nguuunngggg..!!! Nguuunngggg..!!! Nguuunngggg..!!!”
Begitu terompet itu selesai berbunyi tiga kali, ratusan
tombak dan anak panah meluncur ke kapal gerombolan bajak laut. Bersamaan dengan
itu, suara-suara kayu hancur dan pekikan orang-orang yang terkena tombak dan
anak panah pun terdengar. Tidak ada perlawanan yang berarti dari para bajak
laut. Akhirnya, mereka pun dapat ditaklukkan sebelum pagi menjelang. Dari 80
anggota bajak laut tersebut, 27 orang di antaranya tewas, sedangkan sisanya
menjadi tawanan kerajaan.
Setelah suasana tenang, Wamana bersama Bhima dan beberapa
prajurit lain segera naik kapal bajak laut untuk mencari sisa-sisa gerombolan
yang mungkin masih bersembunyi, namun tidak seorangpun ditemukan.
Ketika Wamana hendak turun dari kapal bajak laut, tiba-tiba
terdengar suara yang mencurigakan. Cepat-cepatlah ia kembali masuk ke kapal.
Ternyata dugaannya benar. Ia menemukan seorang pria yang berseragam prajurit
kerajaan yang baunya amis sekali. Ketika Wamana menanyainya, prajurit itu
justru melompat ke laut. Setelah kejadian itu, Wamana ke kapal untuk bergabung
bersama pasukan kerajaan.
Sementara itu, Raja Purnawarman dan para panglimanya sedang
menanyai satu persatu para tawanan mengenai siapa pemimpin mereka. Setelah
ditanya, tak seorang dari mereka yang mengetahuinya karena pemimpin mereka
selalu berubah wujud. Namun, salah seorang dari tawanan itu memberitahukan
mengenari ciri-ciri pemimpin mereka yaitu berbau amis dan berpenyakit asma.
Wamana yang mendengar keterangan tersebut curiga terhadap prajurit yang
melompat ke laut tadi dan menceritakannya kepada Raja.
Setelah mendengar keterangan itu, rombongan sang Raja segera
bertolak menuju Pantai Teluk Lada. Selanjutnya mereka menyusuri aliran Sungai
Cidangiang hingga masuk ke daerah pedalaman. Setiba di sebuah kampung di tepi
sungai yang kini bernama Desa Lebak, mereka disambut meriah oleh tetua kampung
dan para warga. Untuk merayakan keberhasilan para pasukan kerajaan dalam
menumpas gerombolan bajak laut, pihak kerajaan dan penduduk kampung akan
mengabadikan peristiwa tersebut. Para prajurit serta penduduk setempat segera
mempersiapkan segala sesuatunya. Kaum laki-laki sibuk menyiapkan puluhan kerbau
untuk disembelih. Sedangkan kaum perempuan bertugas memasak makanan.
Saat tiba waktu makan siang, kaum perempuan terlihat sibuk
mengantarkan makanan untuk para pekerja yang sedang beristirahat. Wamana dan
Bhima terlihat berbaur dengan para pekerja lainnya yang duduk di dekat tangga
pondok tetua kampung. Sang Raja bersama para panglimanya sedang beristirahat di
dalam pondok itu. Tidak berapa lama, terlihat barisan wanita hendak mengantarkan
makanan untuk sang Raja. Di antara mereka, tampak seorang gadis cantik berjalan
di barisan paling belakang sedang membawa dua buah kendi air minum.
Ketika gadis itu melewati tangga pondok itu, Wamana
tersentak kaget. Sejenak ia terdiam sambil mengembang-kempiskan hidungnya.
Indra penciumannya merasakan bau amis persis yang pernah dikenalnya. Tanpa
berpikir panjang, ia cepat-cepat berlari masuk ke dalam pondok dengan melompati
beberapa anak tangga untuk menyusul gadis itu.
Saat tiba di dalam pondok, Wamana langsung melompat dan
merangkul si gadis yang baru saja meletakkan kendi di hadapan sang Prabu. Tubuh
wanita itu pun terdorong dan terjerembab ke depan karena tertindih oleh tubuh
Wamana.
“Huh, kena kamu sekarang!” seru Wamana sambil menekan kepala
gadis itu.
Setelah itu, Wamana segera menendang kendi air yang dibawa
gadis tadi hingga terpental dan pecah. Semua terheran-heran melihat sikap
Wamana, termasuk Bhima.
“Hai, Wamana! Apa yang kamu lakukan terhadap gadis itu?
Hentikan leluconmu itu!” seru Bhima.
Dengan nafas tersengau-sengau, Wamana menjelaskan bahwa
kendi itu berisi air minum yang telah dicampur racun. Ia juga mengatakan bahwa
gadis itu berbau amis.
“Masih ingatkah kalian keterangan para tawanan tadi?
Bukankah ciri-ciri pemimpin bajak laut berbau amis dan dapat berubah wujud?”
kata Wamana.
Mendengar penjelasan tersebut, sang Raja langsung
memerintahkan panglimanya untuk meringkus gadis jelmaan pemimpin bajak laut
itu. Ketika hendak diringkus, tiba-tiba gadis itu berubah wujud menjadi pria
bertubuh besar. Ia murka dan meronta-ronta sehingga Wamana yang berada di atas
punggungnya pun terpental ke belakang.
Secepat kilat Bhima maju dan mencekik leher pemimpin bajak
laut itu lalu mengangkatnya ke atas hingga matanya melotot dan wajahnya
memerah. Cekikan Bhima amat kuat membuat tubuh pemimpin perampok itu menjadi
lemas. Bhima pun segera melepaskan cekikannya hingga tubuh pria itu terjatuh
dengan lunglai ke lantai.
“Prajurit, cepat ringkus dia!” seru Bhima.
Setelah itu, sang Raja memerintahkan para prajuritnya agar
pemimpin gerombolan itu dihukum mati lalu dibuang ke laut. Dengan tewasnya
pemimpin gerombolan itu, maka sempurnalah penumpasan gerombolan bajak laut oleh
pasukan kerajaan. Untuk mengabadikan peristiwa ini, pasukan kerajaan bersama
penduduk Lebak membangun prasasti di tepi Sungai Cidangiang. Prasasti itu
ditulis langsung oleh Raja Purnawarman dengan menggunakan aksara Pallawa dan
berbahasa Sansekerta. Bunyi prasasti itu antara lain seperti berikut:
“Vikrantayam vanipateh, Prabbhuh satyaparakramah,
Narendraddhvajabutena crimatah, Purnnavarmmanah”
Artinya:
(Ini tanda) penguasa dunia yang perkasa, prabu yang setia
serta penuh kepahlawanan, yang menjadi panji segala raja, yang termasyur
Purnawarman.
Hingga saat ini, prasasti tersebut masih dapat kita temukan
di tepi Sungai Cidangiang, Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang,
Provinsi Banten. Oleh masyarakat setempat, prasasti tersebut dinamakan Prasasti
Munjul.
Demikian cerita Legenda Prasasti Munjul dari Banten. Pesan
moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa orang yang suka
berbuat jahat seperti para gerombolan bajak laut tersebut akan menerima
ganjarannya.
Eksplorasi konten lain dari PRAKATA.ID
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.