Info terupdate
SISI LAIN REALITA
Indeks

Sejarah Lahirnya Kabupaten Kuningan

Pertama kali diketahui Kerajaan Kuningan diperintah oleh
seorang raja bernama Sang Pandawa atau Sang Wiragati. Raja ini memerintah
sejaman dengan masa pemerintahan Sang Wretikandayun di Galuh (612-702 M). Sang
Pandawa mempunyai putera wanita bernama Sangkari. Tahun 617 Sangkari menikah
dengan Demunawan, putra Danghyang Guru Sempakwaja, seorang resiguru di
Galunggung. Sangiyang Sempakwaja adalah putera tertua Wretikandayun, raja
pertama Galuh. Demunawan inilah yang disebutkan dalam tradisi lisan masyarakat
Kuningan memiliki ajian dangiang kuning dan menganut agama sanghiyang.

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Meskipun Kuningan merupakan kerajaan kecil, namun
kedudukannya cukup kuat dan kekuatan militernya cukup tangguh. Hal itu terbukti
dengan kekalahan yang diderita pasukan Sanjaya (Raja Galuh) ketika menyerang
Kuningan. Kedatangan Sanjaya beserta pasukannya atas permintaan Dangiyang Guru
Sempakwaja, besan Sang Pandawa dengan maksud untuk memberi pelajaran terhadap
Sanjaya yang bersikap pongah dan merasa diri paling kuat. Sanjaya adalah cicit
Sang Wretikandayun, melalui putranya Sang Mandiminyak yang menggantikannya
sebagai Raja Galuh (703-710) dan cucunya Sang Sena yang menjadi raja berikutnya
(710-717).

Di Kerajaan Galuh terjadi konflik kepentingan, sehingga Resi
Guru Sempakwaja mengambil keputusan. Diantaranya menempatkan Sang Pandawa
menjadi guru haji (resiguru) di layuwatang (sekarang tempatnya di Desa Rajadanu
Kecamatan Japara). Sedangkan kedudukan kerajaan digantikan Demunawan dengan
gelar Sanghiyangrang Kuku, tahun 723.

Masa pemerintahan Rahyangtang Kuku, diberitakan bahwa ibu
kota Kerajaan Kuningan ialah Saunggalah. Lokasinya diperkirakan berada di
sekitar Kampung Salia, sekarangtermasuk Desa Ciherang Kecamatan Nusaherang.
Seluruh wilayahnya meliputi 13 wilayah diantaranya Galunggung, Layuwatang,
Kajaron, Kalanggara, Pagerwesi, Rahasesa, Kahirupan, Sumanjajah, Pasugihan,
Padurungan, Darongdong, Pegergunung, Muladarma dan Batutihang.

Tahun 1163-1175, Kerajaan Saunggalah terungkap lagi setelah
tidak ada catatan paska Demunawan. Saat itu tahta kerajaan dipegang oleh Rakean
Dharmasiksa, anak dari Prabu Dharmakusumah (1157-1175) seorang raja Sunda yang
berkedudukan di Kawali. Rakean Dharmasiksa memerintah Saunggalah menggantikan
mertuanya, karena ia menikah dengan putri Saunggalah.

Namun Rakean Dharmasiksa tidak lama kemudian menggantikan
ayahnya yang wafat tahun 1175 sebagai Raja Sunda. Sedangkan kerajaan Saunggalah
digantikan puteranya yang bernama Ragasuci atau Rajaputra. Sebagai penguasa
Saunggalah, Ragasuci dijuluki Rahyantang Saunggalah (1175-1298). Ia memperistri
Dara Puspa, putri seorang raja Melayu.

Tahun 1298, Ragasuci diangkat menjadi Raja Sunda
menggantikan ayahnya dengan gelar Prabu Ragasuci (1298-1304). Kedudukannya di
Saunggalah digantikan puteranya bernama Citraganda. Pada masa kekuasaan
Ragasuci, wilayah kekuasaannya bertambah meliputi Cipanglebakan, Geger Gadung,
Geger Handiwung, dan Pasir Taritih di Muara Cipager Jampang.

Berdasarkan tradisi lisan, sekitar abad 15 Masehi di daerah
Kuningan sekarang dikenal dua lokasi yang mempunyai kegiatan pemerintahan yaitu
Luragung dan Kajene. Pusat pemerintahan Kajene terletak sekarang di Desa
Sidapurna Kecamatan Kuningan. saat itu, Luragung dan Kajene bukan lagi sebuah
kerajaan tapi merupakan buyut haden. Masa ini, dimulai dengan tampilnya tokoh
Arya Kamuning, Ki Gedeng Luragung dan kemudian Sang Adipati Kuningan sebagai
pemipun daerah Kajene, Luraugng dan kemudian Kuningan.

Mereka secara bertahap di bawah kekuasaan Susuhunan Jati
atau Sunan Gunung Djati (salah satu dari sembilan wali, juga penguasa Cirebon).
Tokoh Adipati Kuningan ada beberapa versi. Versi pertama Sang Adipati Kuningan
itu adalah putera Ki Gedeng Luragung (unsur lama). Tetapi kemudian dipungut
anak oleh Sunan Gunung Djati (unsur baru).

Dia dititipkan oleh aya angkatnya kepada Arya Kamuning untuk
dibesarkan dan dididik. Kemudian menggantikan kedudukan yang mendidiknya. Versi
kedua, Sang Adipati Kuningan adalah putera Ratu Selawati, keturunan Prabu
Siliwangi (unsur lama), dari pernikahannya dengan Syekh Maulanan Arifin (unsur
baru). Disini jelas terjadi kearifan sejarah.

Berdasarkan Buku Pangaeran Wangsakerta yang ditulis abad ke
17, Sang Adipati Kuningan yang berkelanjutan penjelasanya adalah berita yang
menyebutkan tokoh ini dikaitkan dengan Ratu Selawati. Bahwa agama Islam
menyebar ke Kuningan berkat upaya Syek Maulana Akbar atau Syek Bayanullah. Dia
adalah adik Syekh Datuk Kahpi yang bermukim dan membuka pesantren di kaki bukit
Amparan Jati (sekarang Cirebon).

Syekh Maulana Akbar membukan pesantren pertama di Kuningan
yaitu di Desa Sidapurna sekarang, ibu kota Kajene. Ia menikah dengan Nyi
Wandansari, putri Surayana. Ada pun Surayana adalah putra Prabu Dewa Niskala
atau Prabu Ningrat Kancana, Raja Sunda yang berkedudukan di Kawali (1475-1482)
yang menggantikan kedudukan ayahnya Prabu Niskala Wastu Kancana atau lebih dikenal
dengan sebutan Prabu Siliwangi.

Dari pernikahan dengan Nyi Wandansari berputra Maulana
Arifin yang kemudian menikah dengan Ratu Selawati. Ratu Selawati bersama kakak
dan adiknya yaitu Bratawijaya dan Jayakarsa adalah cucu Prabu Maharaja Niskala
Wastu Kancana atau Prabu Siliwangi. Bratawijaya kemudian memimpin di Kajene
dengan gelar Arya Kamuning. Sedangkan Jayaraksa memimpin masyarakat Luragung
dengan gelar Ki Gedeng Luragung.

Mereka bertiga, yakni Ratu Selawati, Arya Kamuning
(Bratawijaya), Ki Gedeng Luragung (Jayaraksa) diIslamkan oleh uwaknya yakni
Pangeran Walangsungsang. Adapun Sang Adipati Kuningan yang sesungguhnya bernama
Suranggajaya adalah anak dari Ki Gedeung Luragung (namun hal itu masih
merupakan babad peteng atau masa kegelapan yang sampai saat ini tidak diketahui
kebenarannya sesungguhnya anak siapa Sang Adipati Kuningan).

Atas prakarsa Sunan Gunung Djati dan istrinya yang berdarah
Cina Ong Tin Nio yang sedang berkunjung ke Luragung, Suranggajaya diangkat anak
oleh mereka. Tetapi pemeliharaan dan pendidikannya dititipkan pada Arya
Kamuning. Sedangkan Arya Kamuning sendiri dikabarkan tidak memiliki keturunan.
Akhirnya Suranggajaya diangkat jadi adipati oleh Susuhunan Djati (Sunan Gunung
Djati) menggantikan bapak asuhnya.

Penobatan ini dilakukan pada tanggal 4 Syura (Muharam) Tahun
1498 Masehi. Penanggalan tesebut bertempatan dengan tanggal 1 September 1498
Masehi. Sejak tahun 1978, hari pelantikan Suranggajaya menjadi Adipati Kuningan
itu ditetapkan sebagai Hari Jadi Kuningan sampai sekarang.


Eksplorasi konten lain dari PRAKATA.ID

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.