Di kaki Gunung Tinjau, hidup sepuluh orang bersaudara yang
disebut dengan Bujang Sembilan. Si sulung bernama Kukuban dan si bungsu bernama
Sani. Mereka memiliki paman bernama Datuk Limbatang. Datuk Limbatang memiliki
putra bernama Giran. Sani dan Giran saling menaruh hati.
Saat musim panen, diadakanlah adu silat. Giran dan Kukuban
pun bertanding, mereka sama kuatnya. Namun Kukuban kalah dan merasa dendam
kepada Giran.
Beberapa hari kemudian, Datuk Limbatang datang meminang Sani
untuk Giran tapi Kukuban menolaknya. Sani dan Giran pun bersedih, mereka
bertemu di sebuah ladang untuk mencari solusi. Sepotong ranting berduri
tersangkut pada sarung Sani hingga melukai pahanya.
Giran berniat mengobati luka itu dengan ramuan. Tiba-tiba
warga datang menuduh mereka telah melakukan perbuatan terlarang sehingga harus
dihukum. Betapapun Giran dan Sani mencoba membela diri, warga tidak
menghiraukannya.
Sebelum dihukum, Giran berdoa kalau mereka bersalah, ia rela
tubuhnya hancur di dalam kawah gunung. Tetapi jika tidak bersalah, letuskanlah
gunung ini dan kutuk Bujang Sembilan menjadi ikan.
Setelah Giran dan Sani melompat ke kawah, gunung itu pun
meletus. Bujang Sembilan pun menjelma menjadi ikan. Letusan gunung Tinjau itu
membentuk kawah luas yang berubah menjadi danau yang diberi nama Danau
Maninjau.
Cerita ini berasal dari Sumatera Barat. Dari cerita ini
tersirat pesan moral bahwa tidak baik menyimpan dendam dan prasangka buruk
terhadap orang lain.
Eksplorasi konten lain dari PRAKATA.ID
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.