Info terupdate
SISI LAIN REALITA
Indeks

Indah Pada Waktunya

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

“”Ka… Karen…” Mama menggoyang-goyangkan tubuh Karen.

Karen tetap bergeming.

“Karen, ini udah siang, loh! Kamu ga takut telat ke sekolah,
Nak?” Mama masih berusaha membangunkan putri semata wayangnya itu dengan
menepuk-nepuk pahanya.

Karen langsung berbalik ke arah Mamanya dengan mata yang
cuma terbuka setengah. “Hmmm…” gumamnya pelan sambil melirik jam weker yang
bertengger di samping tempat tidurnya. Sudah jam setengah tujuh pagi.

Tapi bukannya bangun, dia malah memeluk gulingnya. Matanya
pun ikut terpejam lagi.

“Loh, Karen.. Bangun, dong!” Mama kembali
mengguncang-guncangkan tubuh mungil milik Karen. Kali ini lebih kuat.

“Mama nih gimana, sih? Semalem kan aku udah bilang kalo anak
kelas sepuluh tuh lagi ujian. Jadi aku libur..” gerutu Karen sambil
membelakangi Mamanya.

“Oh, ya udah kalo gitu. Kamu lanjutin aja tidurnya,” Mama
pun bangkit dari tempat tidur dan melangkah ke luar kamar.

Karen langsung menarik selimut dari kakinya seraya
menggerutu tidak jelas. Ia memang paling benci kalo tidurnya diganggu. Apalagi
pas hari libur kayak sekarang.

Belum puas menggerutu, sekarang ia malah berguling-guling di
atas tempat tidurnya. Mencari posisi yang nyaman untuk bisa melanjutkan tidur.
Tapi tidak berhasil.

Akhirnya, ia memilih meraba-raba meja di samping tempat
tidurnya. Mencari hape yang dari semalam dibiarkan dalam silent mode. Setelah
mendapatkan benda berwarna putih itu, ia pun menatap layarnya. Ada tulisan ‘1
new message’.

Karen segera membacanya.

Udah tidur ya, Ren?

Rico.

Mata Karen yang tadinya sangat berat untuk terbuka, spontan
melotot. WHAT? KAK RICO? Semalem Kak Rico nge-sms aku?

Baru berniat mengetik balasannya, jempol Karen kontan
berhenti. Menyadari pulsanya yang sudah tidak “mencukupi”. Akhirnya, ia pun
pasrah dengan kembali meletakkan hapenya ke meja. Lalu tidur lagi.

“Itu Kak Rico, kan?” seru Lani. Membuat Karen langsung
menoleh. Kemudian mendapati sosok cowok yang dimaksud Lani itu di tengah-tengah
beberapa anak kelas dua belas yang lain.

“Ga usah pake ngiler gitu, kali! Hahaha…” sambung Lani
sambil mengusap bibir Karen yang sebenarnya ga ada apa-apa.

Karen sontak menatapnya. Sewot. Lalu kembali mengamati
sekumpulan cowok yang lagi asik ngobrol di parkiran sekolah mereka itu.

Rico adalah senior Karen. Dia kelas XII IPS 1. Gak cakep
sih, tapi manisnya minta ampun! Keren, cool, dan rada cuek. Bikin Karen
tergila-gila sama cowok itu dari setahun yang lalu, waktu dia masih kelas
sepuluh.

Pas lagi jalan ke gerbang, tiba-tiba…

“Hai, Karen..” sapa sebuah suara tepat di sebelah cewek imut
itu.

Karen kontan menoleh. Lalu mendapati Rico di sampingnya.
Sedangkan Lani sudah menghilang. Gak tau kemana dan sejak kapan.

Karen pun memamerkan senyum manisnya.

“Pulang sendirian aja?” tanya Rico dari atas motor hitam
miliknya.

Karen cuma mengangguk.

“Pulang bareng aku aja, yuk! Mau, gak?” tawar Rico. Ia
menyodorkan sebuah helm besar ke depan wajah Karen.

Karen menatap helm itu sejenak. Kemudian mengalihkan pandangannya
ke arah Rico. “Nggak udah, Kak. Makasih. Aku ga mau ngerepotin..”

“Ga pa-pa, kok. Nih…” balas Rico sambil menggerak-gerakkan
helm yang sedari tadi ada di genggamannya itu.

Karen pun meraih helm tersebut.

“Oh, iya,” cowok itu melepaskan jaket abu-abu yang melekat
di tubuhnya. “Kayaknya mau hujan, deh. Kamu pake ini, ya!” lanjutnya seraya
menyerahkan jaket tersebut pada Karen.

“Loh, kok aku? Kalo ntar Kakak yang basah, gimana?” heran
Karen.

“Ga pa-pa. Udah biasa. Ayo, naik..” ujar Rico sambil menstater
motornya.

Karen cuma mengangguk. Ia memakai jaket pemberian Rico. Lalu
naik ke atas motor cowok itu.

“Udah?” tanya Rico.

“Udah,” balas Karen.

Rico pun melajukan motornya.

Karen mengulum senyum di belakang. Kemudian memejamkan
matanya dan menghela nafas panjang. Hmmm… Jaketnya Kak Rico wangi banget, deh!
batinnya.

Dan saat membuka mata, bukan pemandangan jalan raya yang
dilihatnya. Jaket abu-abu milik Rico juga sudah tidak melekat di tubuhnya.
Berganti menjadi piama berwarna pink yang dipakainya dari semalam.

Sial, ternyata cuma mimpi, kesal Karen dalam hati.

“Ngapain sih lo? Daritadi mondar-mandir mulu. Kayak
setrikaan aja, deh. Pusing gue!” cerocos Rati.

Karen menoleh dan menatap kedua temannya yang lagi asik
ngobrol di teras rumah Lani. Mereka baru saja selesai belajar bareng beberapa
menit yang lalu.

“Lagi nunggu jemputan,” balas Karen singkat. Kemudian
kembali celingak-celinguk di depan rumah Lani.

“Emangnya lo dijemput sama siapa, sih?” tanya Rati.

“Ada, deh.. Ntar juga lo tau, kok,” jawab Karen. Sok
misterius.

Beberapa saat kemudian, sebuah motor hitam berhenti tepat di
depan pagar rumah Lani. Di atasnya, seorang cowok berjaket merah dengan helm
besar yang juga berwarna merah terlihat menoleh dan melongok ke dalam rumah
Lani.

“Itu dia!” seru Karen spontan.

Lani dan Rati pun sontak berdiri dan berjalan mendekati
Karen. Lalu makin mencondongkan kepalanya ke arah pagar rumah Lani itu.

“Itu… Kok kayak Kak Rico, ya?” tanya Rati. Mencoba menebak.

“Iya, gue yakin banget. Itu pasti Kak Rico, kan? Liat aja
gayanya! Kak Rico banget deh pokoknya,” Lani yang menjawab. Semangat.

Karen cuma tersenyum membalasnya. “Gue balik dulu, ya!
Kasian dia kalo kelamaan nunggu. Byeee!”

“Dadah, Karen…” sorak Rati.

“Hati-hati di jalan, ya!” teriak Lani.

Karen mengangguk dan melambaikan tangannya sambil berjalan
menjauhi kediaman Lani. Menghampiri Rico yang sudah menunggunya di luar sana.

Rico menyerahkan sebuah helm ke genggaman Karen saat cewek
itu sudah berdiri di depannya. Karen meraihnya sambil tersenyum. Salah tingkah.

Setelah memakai helm tersebut, Karen lalu naik ke atas motor
Rico.

“Udah?” tanya Rico.

“Udah,” balas Karen. Kayak dejavu, deh! lanjutnya dalam
hati.

Rico kemudian melajukan motornya meninggalkan rumah Lani.

Di belakang Rico, Karen menepuk-nepuk pipinya. Duh, sakit!
Ternyata ini bukan mimpi lagi. Ya ampuuun, mimpiku tadi pagi jadi kenyataan.
Makasih, ya Allah… Ia lalu membekap mulutnya sendiri. Berusaha sekuat tenaga
agar ia tidak berteriak histeris saking gembiranya.

Tiba-tiba, mata Karen menangkap pandangan Rico yang lagi
mengamatinya dari spion kiri motor cowok tersebut. Oh, my God! Kak Rico
ngapain, nih? Jangan-jangan daritadi dia ngeliatin aku, lagi! Grrr… Sial! Tadi
aku ngapain aja, sih? Kayaknya aku geregetan banget, ya? Wuaaahhhhh… Malunya!!!
cerocos Karen dalam hati.

“Kamu kenapa, sih? Nervous gara-gara deketan sama aku,
yaaa?” goda Rico.

Karen cuma bisa buang muka. Pura-pura ga peduli. Saking
saltingnya.

***

Karen melangkah memasuki kelasnya di XI IPA 1 sambil menebar
senyum kemana-mana. Dari guru-guru, anak kelas sepuluh, sebelas, dua belas,
satpam, sampe penjaga sekolah sudah kebagian senyum manisnya daritadi.

Baru menaruh tasnya di meja, Lani sudah langsung menduduki
kursi miliknya. Membuat Karen pasrah berdiri di samping mejanya seraya
mengamati Lani.

Gak lama kemudian, muncul lagi sosok Rati yang segera duduk
di sebelah Lani.

“Kenapa semalem lo ga ngebales sms gue?” tanya Lani
langsung.

“Iya! Gue juga!” sambung Rati.

Karen menghela nafas panjang. Udah aku duga bakal
diinterogasi… “Pas nyampe di rumah, gue ngerjain PR kimia. Trus tidur, deh.
Ngantuk banget soalnya,” balas cewek itu.

“Tapi kok lo tega banget sih ngebiarin kita penasaran
semaleman?” gerutu Rati.

“Iya, gue nungguin sms lo sampe jam satu pagi, tau gak!”
kesal Lani sambil mengacungkan jari telunjuknya ke depan wajah Karen.

“Sorry, deh..” ucap Karen akhirnya. “Minggir, dong! Gue
capek berdiri, nih..” lanjutnya sembari menarik tangan Lani untuk menyingkir dari
bangkunya.

Lani menurut. Ia pun berdiri dan pindah ke bangkunya sendiri
yang terletak tepat di depan meja Karen. Lalu duduk menghadap ke belakang.
Masih menanti cerita sahabatnya itu.

“Oke. Sekarang jawab pertanyaan gue semalem. Lo ngapain aja
sama Kak Rico, hah?” tanya Lani. Mulai menginterogasi.

“Ngobrol,” jawab Karen singkat, padat, dan jelas.

“Ngobrol dimana?” Rati ikut bertanya.

“Ya di atas motor, laaah..”

“Di motor doang? Emangnya lo ga mampir kemana-mana dulu?”
seru Lani.

Karen menggeleng. “Enggak.”

“Kok enggak?” Rati keliatan ga puas sama jawaban-jawaban
Karen sedari tadi.

“Lo pikir gue sama Kak Rico mau kemana? Udah jam sepuluh
malem, tau! Nyokap gue aja udah nelfon mulu.”

“Ih, ga romantis banget..” cibir Rati.

“Yeee, gue malah salut, tau! Itu artinya dia cowok yang
baik. Karna udah malem, jadi dia langsung nganterin Cinderella-nya ini pulang
ke rumah, deh. Iya, kan?” cerita Karen. Bangga.

Lani dan Rati manggut-manggut. “Iya juga, sih..”

“Trus, kalian ngobrolin apa aja?” tanya Lani lagi.

“Banyak deh pokoknya. Gue nyeritainnya pas istirahat aja,
ya! Udah mau bel, tuh..” jawab Karen sambil menunjuk jam dinding di kelas
mereka.

“Hmmm iya, deh..” balas Rati. Pasrah. “Eh, tapi dia udah
nembak lo, belum?” lanjutnya antusias.

Karen memandangi kedua sahabatnya itu bergantian. Lalu
tersenyum. “Belum..”

Dahi Lani dan Rati sontak berkerut. “BELUM?” tanya mereka.
Kompak.

Karen mengangguk kuat-kuat. “Iya, belum!”

“Kok belum? Kalian kan udah deket lamaaaa banget. Kirain
semalem dia mau ngejemput lo karna mau ngomongin masalah itu,” cerocos Lani.

Rati manggut-manggut menyetujui ucapan Lani barusan.

Karen kembali tersenyum. “Sabar aja, deh. Dulu juga gue
mulai deket sama dia dari telfonan. Trus saling sapa di sekolah, sampe akhirnya
bisa jalan bareng kayak semalem, kan? Semuanya butuh proses sih menurut gue.”

Ia berhenti sejenak. Lalu menghela nafas panjang. Kemudian
tersenyum lebih lebar dari sebelumnya. Dan melanjutkan, “Semuanya juga butuh
waktu. Dan gue yakin, kalo semua itu pasti bakal indah pada waktunya…”


Eksplorasi konten lain dari PRAKATA.ID

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.